Pernah enggak sih, lagi asik-asikan scroll Instagram, tiba-tiba lihat foto teman-teman lagi kumpul seru di kafe yang lagi hits, sementara kita cuma rebahan di rumah? Atau yang lagi hits, kok banyak yang main padel ya, pengen ah. Kok banyak yang ngepost foto-foto lagi jogging ya, kan jadi pengen.
Nah, rasa gelisah dan cemas karena takut ketinggalan momen seru itulah yang sekarang kita kenal sebagai FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out. Istilah ini sekarang udah jadi bagian dari percakapan sehari-hari kita, melebihi sekadar slang di media sosial. Tapi, pernah kepikiran enggak sih, dari mana sebenarnya kata ini berasal?
![]() |
Photo by Miguel A Amutio on Unsplash |
Lahir dari Meja Akademisi, Bukan dari Ponsel Pintar
Meskipun perasaan FOMO udah ada sejak zaman nenek moyang kita—karena manusia pada dasarnya makhluk sosial yang enggak mau ketinggalan—istilahnya sendiri masih tergolong baru. Jangan kaget, istilah ini ternyata lahir bukan dari jagat media sosial, melainkan dari dunia akademik!
Orang yang pertama kali mengenalkannya adalah Dr. Dan Herman, seorang ahli strategi pemasaran, dalam tulisan ilmiahnya di tahun 2000. Dia mendefinisikan FOMO sebagai "perasaan atau persepsi bahwa orang lain sedang menikmati hal-hal yang lebih asyik dan bermanfaat daripada yang kita alami." Gampangnya, rasa iri yang dicampur cemas.
Tapi, yang benar-benar bikin kata ini viral adalah seorang mahasiswa Harvard Business School bernama Patrick J. McGinnis. Pada tahun 2004, dia menulis artikel untuk majalah kampus dan memperkenalkan istilah FOMO serta saudaranya, FOBO (Fear of a Better Option). McGinnis melihat bagaimana teman-temannya di kampus yang super sibuk itu selalu takut salah pilih acara atau kesempatan. Mereka selalu merasa ada yang lebih baik di tempat lain. Gara-gara artikel inilah, FOMO mulai merangkak keluar dari dunia kampus dan akhirnya merambah ke media sosial seperti Facebook dan Twitter, yang saat itu mulai booming.
Sampai akhirnya, di tahun 2013, kata "FOMO" secara resmi masuk ke kamus Oxford English Dictionary. Ini jadi bukti bahwa istilah tersebut sudah benar-benar meresap ke dalam budaya modern kita.
Kenapa FOMO "Hidup" di Mana-Mana?
FOMO bukan cuma soal rasa cemas melihat update di Instagram. Rasa takut ketinggalan ini ternyata merasuk ke banyak aspek kehidupan kita, dan ini adalah beberapa alasannya:
Media Sosial: Ini jelas habitat utamanya. Kita disuguhi "sorotan" kehidupan orang lain yang tampak sempurna: liburan ke luar negeri, makan malam mewah, atau pencapaian karier yang mengesankan, bahkan yang sekarang lagi aku perhatikan adalah kebiasaan baik yangg banyak dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita yaitu berolahraga terutama lari dan padel. Pasti ada orang di sekitar kita yang lagi seneng lari atau mungkin bermain padel karena lihat orang lain juga melakukan hal tersebut. Memang bukan sesuatu yang jelek tapi bagi mereka yang cuma FOMO ato hanya ikut-ikutan ya hanya sekedar ikut saja biar gak ketinggalan oleh yang lainnya. Apalagi algoritma media sosial sekarang dirancang untuk menunjukkan konten yang paling menarik, membuat kita merasa semua orang bersenang-senang kecuali diri kita. Dampaknya? Bisa memicu kecemasan, rasa enggak puas, sampai akhirnya kita jadi sering membandingkan diri dengan orang lain.
Dunia Investasi: Siapa bilang FOMO cuma buat anak muda? Aku sendiri kenal istilah FOMO saat masuk ke dunia investasi terutama pada tahun 2017 waktu itu. Istilah FOMO pertama kali aku dengar ya disini. Dimana orang yang melihat harga suatu saham naik tiba-tiba ikutan membeli saham tersebut padahal gak tau apa-apa (hanya ikut-ikutan). Padahal dalam dunia investasi terutama saham kita harus mendahului sebuah keputsan beli atau jual dengan terlebih dahulu melakukan analisis baik fundamental ataupun teknikal. Nah orang-orang yang FOMO biasanya tidak memikirkan hal itu dan tiba-tiba aja membeli atau menjual saham hanya karena saham tersebut lagi naik atau turun. Begitupun saat crypto lagi naik daun, banyak orang tiba-tiba jadi trader dan investor crypto karena gak mau ketinggalan keuntungan yang katanya didapat oleh orang lain. Belum lagi waktu itu banyak influencer yang suka flexing kekayaan mereka yang katanya didapat dari hasil trading namun ujung-ujungnya penipuan. Kasusnya sudah banyak dan kamu bisa mencari sendiri di internet
Dunia Pemasaran: Nah kalo yang satu ini memang salah satu kelebihan bagi para pebisnis menurutku. Karena banyak pebisnis yang jago banget memanfaatkan FOMO sebagai strategi untuk meningkatkan penjualan mereka. Taktik seperti "diskon kilat," "stok terbatas," atau "hanya untuk 100 pembeli pertama" diciptakan khusus untuk memancing rasa takut ketinggalan di benak konsumen. Hasilnya, kita jadi gampang terdorong untuk beli barang yang sebenarnya enggak terlalu kita butuhkan. Contoh lagi saat semua orang tiba-tiba pada seneng jogging, tiba-tiba muncul banyak brand sepatu lari yang mempromokan kelebihan dari sepatu lari brand mereka itu. Aku juga termasuk salah satu yang dulu terkena FOMO dan membeli sepatu lari yang akhirnya saat ini hanya nganggur di rumah doang itu sepatu.
Kesimpulan: FOMO, Cermin Kecemasan Kita
Yang awalanya dari hanya sekadar istilah di kampus, FOMO kini menjadi cerminan dari kecemasan kita di era digital. Istilah ini relevan karena berhasil menangkap perasaan universal yang dialami banyak orang: rasa cemas yang muncul dari perbandingan sosial tanpa henti.
Jadi, ketika kita melihat orang lain, baik di dunia nyata maupun di media sosial, kita mungkin merasa ingin tahu—atau mungkin sedikit iri. Tapi, coba renungkan sejenak, apakah yang kita lihat itu benar-benar apa adanya? Atau hanya "bagian terbaik" dari sebuah cerita?
Semoga sedikit tulisan ini bisa membuka hati dan mata kita agar tidak ketularan FOMO.
Referensi:
- Herman, D. (2000). The New Consumerism: A Theory of Modern Marketing
- McGinnis, P. J. (2004). "Social Theory at HBS: The Two FOs." The Harbus.
- Widianti, M. (2022). FOMO dalam Psikologi dan Kehidupan Sehari-hari. Jurnal Psikologi Indonesia.
- Oxford English Dictionary (2013). "FOMO."
- Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). "Motivational, emotional, and behavioral correlates of the fear of missing out." Computers in Human Behavior.
Post a Comment