Lumba Biru

gambar dari @seasaver on twitter.com
Desir pasir yang tergulung ombak riuh terdengar.  Deburan ombak yang terpecah pada batu karang tak kalah menggelegar. Ditambah kicauan burung camar pantai yang bersahutan. Suasana yang menjadi santapan pagi Rerei tiap hari. Terlampau damai dan lembut. 

Pagi ini,  seperti pagi lainnya, ia duduk di antara batu karang tinggi di dekat teluk. Kakinya berayun pelan sambil matanya menelisik langit. Melamun menjadi kebiasaan Rerei akhir akhir ini.  Entah apa yang ada pikirkan gadis berambut ikal ini. 

Tak ada kata yang terucap, lebih memilih memandang gulungan kapas melayang.  Sepertinya ia tak menyadari sepasang mata yang tengah mengintainya dari dalam air,  tak jauh darinya.  Gemricik air akibat gerakan si pemilik mata juga tak kunjung menyadarkanya
Byuur
''Huaaaa!!!'' gadis itu terkejut hingga dia jatuh ke dalam laut.  Hampir saja ia tenggelam jika saja seekor lumba-lumba tidak membawanya kepermukaan. Sang gadis hanya mengeratkan pegangan ketika ia malah dibawa bermain oleh lumba-lumba. 

''Grhhh, Rerei hampir tenggelam lumba!'' maki si gadis ketika telah daratkan pada karang.  

Wajahnya merah padam karena hampir kehabisan napas di dalam air. Lumba-lumba,  hewan yang mengintainya sejak tadi hanya memandang diam dari bawah air. Kebiasaannya jika sang majikan tengah marah, memperhatikan dari dalam air. 

''Sudah, ah. Hei lumba,  kemari mendekat." Rerei kemudian bergerak merunduk dan tangannya menggapai-gapai air.  Seolah mengerti atau memang sudah mengerti lumba-lumba itu muncul kepermukaan dan menggapai tangan Rerei dengan moncongnya. Rerei mengusap pelan kepala lumba hingga hewan itu mengeram lucu. 

Suasana pantai pelosok menjadi  yang menjadi latar sangat mendukung momen kedua makhluk itu.  Sang majikan, Rerei, terus berceloteh ria di depan si lumba. Rerei ceritakan semua harinya seperti pada seorang teman.  

''Omong-omong tentang teman,  Rerei punya teman baru, lumba.  Dia dari kota jauuuuh dari sini katanya. Oh, ya ada hadiah kecil yang temanku beri.'' Tangannya merogoh saku semangat.  Menarik cepat benda yang ia maksud. 
Balon

''Mainan baru. Katanya lagi,  ditiup jadi besar,'' tangannya digerakkan mempraktikkan bentuk besar dari mainannya. Yang diajak bicara hanya memiringkan kepala, tanda tak mengerti. 

''Dia juga bilang bawa balon banyak.  Mau pesta, iya pesta," pekik Rerei kegirangan. Nampaknya mainan baru ini benar-benar berkesan baginya. Ia terus beceletoh panjang lebar sperti kegiatan kegiatan rutin kedua makhluk itu sebelum seseorang memanggil Rerei dari kejauhan. 

"Rerei,  Rei! Kemari." secepatnya Rerei mencari sumber suara. Tak jauh dari karang tempatnya sekarang, Cio, teman barunya dari kota melambaikan tangan.  Rerei bergegas menemuinya dengan senyum mengembang. 

"Cio, wah senang bertemu denganmu lagi. Ayo, mari bertemu teman lautku." Tangan Rerei hampir berhasil mengajak Cio ke luat, jika saja Cio tidak menghentikan langkahnya tiba tiba. 

''Teman laut? Siapa?" Cio nampak kebingungan. 
''Teman laut, teman Rerei bermain di laut, lumba" ujar Rerei penuh semangat. 

"Lumba? lumba-lumba? Tidak, terimakasih. Kupikir lebih baik kita bermain di pekarangan.'' Cio mengernyit heran untuk sesaat kemudian memutuskan membawa Rerei pergi bermain. Rerei yang sempat kebingungan hanya menurut ajakan teman barunya itu. 
**
''Ibu, Rerei pu—''
''Tidak, lebih baik tidak." 

Suara tegas sang ayah memotong ucapannya seketika. Nampaknya sang ayah tengah berunding serius dengan salah satu kenalannya. Rerei menengok ke halaman samping dan mendapati wajah serius ayahnya ketika berunding. Lamat- lamat suara sang ayah dan rekannya terdengar kembali.  Rerei sedikit banyak mencoba mendengar apa yang mereka bicarakan. 

"Tetapi, Tuan Suh, ini pesta penyambutan tradisi desa kita. "
"Iya, saya paham.  Tetapi tak harus menggunakan hiasan seperti balon. Seperti biasa saja,  yang sederhana."
"Nah,  malah ini agar pesta penyambutan ini sedikit berbeda. Toh,  keluarga yang kita sambut, keluarga Tuan Han. Beliau pemilik pabrik balon di kota,  kita tak payah membayar, beliau bersedia memberi percuma. "

"Bukan masalah biaya,  Paman Din.  Ini masalah lingkungan.  Desa kita itu masih asri, tidak usahlah bawa bawa mainan karet itu.  Nanti malah dampaknya bahaya."

"Ya sudah kalau keputusannya begitu. Tapi saya masih berharap Tuan Suh untuk memikirkan ini lagi.  Kalau begitu saya permisi Tuan. "

Ketika Paman Din mulai beranjak pergi, Rerei melangkah mendekati sang ayah sambil membawa balon pemberian Cio siang tadi. Sedari tadi ia memperhatikan interaksi sang ayah sembari mendekap balonnya erat erat. Kini ia tepat berada di samping sang ayah yang tengah memijit pangkal hidungnya. 

"Ayah, ayah.  Kenapa ayah menolak balon?" sahut rerei yang tidak dapat membendung rasa penasaran ya lagi.  Sang ayah kemudian hanya tersenyum sambil mengelus lembut surai sang anak.  

" Mainan tak selalu berdampak baik, Rei. "
" Tapi yah, coba lihat balon ini" mengangkat balon ya tinggi. 

"Bukannya terlihat seru. Rerei yakin teman teman rerei akan senang ikut pesta penyambutan.  Terakhir pesta untuk Paman Wan hanya orang tua yang datang. Teman-teman Rerei tidak mau,  bosan katanya. Kalau ada balon, Rerei yakin banyak yang datang." 

Celotehan semangat sang anak mengundang sang ibu datang menengok perdebatan kecil itu. Sang ibu hanya tersenyum maklum melihat perdebatan itu.  Namun, tak menyangkal bahwa perkataan sang anak sedikit banyak ada benarnya. Ia kemudian menoleh pada suaminya dan melempar senyum lembut. 

Sang ayah hanya menghela napas sejenak sebelum mengelus surai anaknya. 
"Ayah paham.  Nah,sekarang Rei, mandi ya, sudah menjelang petang," tuturnya pelan. 

"Ay..ay captain!" Rerei berlari masuk meninggalkan sepasang orang tua itu berbincang. 

"Sepertinya aku akan mengubah keputusaku untuk kali ini. Apa pendapatmu? " 

"Ya,  kau harus." Sang ayah tersenyum singkat sebelum melangkah pergi keluar pekarangan. 
**
Malam ini,  setelah mengubah keputusannya, sang Ayah datang pada acara penyambutan itu. Tak seperti biasanya,  pesta kali ini benar-benar ramai.  Sesuai dugaan Rerei, hampir seluruh kawan kecilnya hadir. Keberadaan balon di sana terbukti mampu menarik perhatian semua warganya tak terkecuali. 

Namun, Tuan Suh mengeryit heran sebelum ikut meramaikan pesta. Kendati diperbolehkan adanya balon tetapi ia tidak mengira akan sebanyak ini. Setiap sisi pekarangan rumah Tuan Han berhias balon. Bahkan diberikan beberapa balon khusus anak anak. Secepat mungkin laki laki itu melangkah menemui Paman Din di pintu masuk. 

"Paman, semua balon ini menurutku terlalu berlebihan,  sungguh." Ia menekankan setiap katanya.
"Nikmati dulu pertanyaan, Tuan Suh. Lagi pula kita tidak dipungut biaya sepeserpun untuk ini," Paman Din menjawab dengan nada santai. 

"Sudah saya katakan sebelumnya, ini bukan tentang uang,  ini tentang ling—" dengan segera Paman Din memotong kalimat Tuan Suh dan mendorongnya ke tengah pesta. 

"Sudah,  kita bahas itu nanti.  Sekarang lihat anak Anda saja menikmati pesta ini, jangan mau kalah, Tuan." Lagi-lagi dengan nada bicara Paman Din yang kelewat santai. Ia menunjukkan sekumpulan anak, termasuk Rerei dan anak si tuan rumah kali ini yang bermain main dengan balon.  

Sungguh sebenarnya tuan suh tidak sependapat sedikit pun. Namun, pesta ini sudah terlanjur dimulai dan semua orang nampak menikmatinya. 
"Mungkin kali ini tak apa?" pikir Tuan Suh. 
**
Rerei mengerang pelan di atas kasur.ya pagi ini. Kali ini ia bangun agak kesiangan. Mungkin efek terlalu semangat bermain dengan teman barunya seminggu terakhir membuat tenaganya terkuras habis. 

"Rei, mandilah setelah itu kita sarapan," Suara sang ibu terdengar dari luar kamar. Tak butuh waktu lama untuk menuruti apa kata sang ibu.  Kini Rei tengah duduk bersenandung di meja makan. 
"Ibu, Ayah di mana? " 
" Ayah ke laut, ada laporan warga." 
"ibu, aku mau menyusul ayah, mau bertemu lumba." Rerei beranjak mengambil jaket di gantungan. Ia mengenakan sepatu terburu buru sebelum dikejutkan oleh suara bedebam pintu depan.  

Sang ayah berdiri dengan napas terengah di balik pintu. Wajahnya merah padam dan ekspresi khawatir mendominasi. Ia menatap sang anak yang menatap balik ingin tahu. 

"Lu— Lumba," napasnya tersengal. Suaranya tercakat sesaat kemudian menarik  Rerei ke teluk tergesa. 

Rerei tidak terlalu bodoh untuk mengerti situasi yang terjadi didepan matanya kini. Namun untuk kesekian kalinya hatinya tak mau mempercayai penglihatannya sendiri. Otaknya tak bisa tidak terus mengalirkan pikiran yang terburuk. 

Raganya reflek mendekat kerumunan dekat teluk itu. Kakinya dengan cepat berlari membelah kerumunan. Ia  berupaya mempertahankan penglihatan di tengah kerumunan orang dewasa.  

Tepat di depannya,teman lautnya, sahabat setianya, lumbanya, diletakkan di atas karang oleh para nelayan. Hewan itu tak bergerak seinci pun. Mata Rerei telah memerah sempurna, sedikit saja ia berkedip air matanya itu tumpah tiada henti. 

"Lumba, lumba?! " dengan suara parau Rerei mencoba berteriak memanggil temannya. Tangannya bergerak memeluk tubuh hewan itu. Wajah telah basah oleh air mata, matanya hanya terpaku pada tubuh itu.  

" Lumba, bergeraklah Lumba. Rerei mohon, hiks. Lumba.. " sang ayah bergerak mendekat tubuh kecil sang anak yang terisak dari belakang. 

" Maafkan ayah. Ini terjadi tanpa sempat dicegah." Sorot mata sang anak menatapnya menuntut. 

"Hilir Sungai telah tercemar sampah balon pekan lalu. Lumba terlalu sering berada teluk dekat hilir. Ia tak sadar telah menelan sampah sampah itu yang jelas tidak akan berakhir baik pada tubuhnya.  Dan kemudian kejadian ini terjadi. Maafkan, ayah." lirih sesal sang ayah. 

"Maafkan aku,  Rei. Seharusnya aku tidak.. hiks" cio terisak di samping ayah Rerei.  Sedari tadi ia mendengar ucapan tuan suh. Ia benar benar merasa bersalah. Sedangkan Rerei,  lisannya terlalu kelu untuk membalas perkataan dua orang tadi. Ia kembali menjatuhkan diri memeluk lumba dan menangis kembali. 

"Lumba, maaf. Maafkan kami lumba hiks...maafkan Rerei." isaknya tak terhenti bahkan ketika tubuh hewan tadi mulai ditarik dari dekapannya untuk selanjutnya di urus para nelayan. Suara parau yang bercampur suara tangisnya terus memanggil teman lautnya,  yang kini telah mati karena ulah kaumnya sendiri. 

"Alam datang sebagai anugerah sekaligus amanah dari yang Maha Kuasa. Jaga alam seperti kau menjaga dirimu sendiri. "

Post a Comment

Previous Post Next Post
iklan-728
iklan-728