Sebenarnya, Apa Arti dari 'Jurnalistik'?

Dalam benak anda semua, apa yang terlintas tatkala mendengar kata jurnalistik?
Mungkinkah sekadar wartawan, penulis, cameraman, atau reporter di televisi?

Ya, itulah yang dahulu saya pikirkan tentang jurnalistik. Dalam pikiran saya, wartawan di televisi adalah profesi yang tak sebanding dengan aktris yang melenggang dalam sinetron kesayangan nenek saya. Namun, perlahan pandangan saya tentang jurnalistik mulai berubah.

Sebelumnya, izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Sekar Arum Maharani, seorang anggota dari ekstrakurikuler Jurnalistik di SMA Negeri 1 Pekalongan. Ya, hanya sekadar anggota, bukan seseorang  yang memiliki wawasan luas dan perlu diagungkan. Namun, disini saya ingin berbagi sedikit pandangan dan pengalaman saya yang tertuang dalam bidang jurnalisme.


Dahulu, saya sering menemani ayah saya menyaksikan berita pagi di televisi. Namun seperti anak-anak pada umunya, saya lebih tertarik untuk menonton serial kartun di SpaceToon ketimbang menyaksikan berita tentang pembunuhan, politik, kriminalisme, atau bahkan arus mudik. Kala itu, tak pernah terlintas dalam benak saya untuk mencoba sedikit lebih dekat dengan dunia jurnalisme.

Namun hal itu mulai berubah tatkala saya menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, sekolah saya mengadakan lomba menulis cerita pendek, dan saya berhasil mendapat hadiah pemenang karenanya. Entah bagaimana, guru saya justru mendapuk saya sebagai pimpinan redaksi untuk dua edisi majalah sekolah. Mungkin itu terdengar sepele bagi sebagian orang, namun itu adalah sebuah tantangan bagi saya. 

Tanpa saya sadari, saya mulai jatuh cinta dengan dunia ini. Karena dengan menjadi seorang reporter 'dadakan', saya dapat mengembangkan relasi saya, melatih kepercayaan diri, serta menambah wawasan dengan riset, riset, dan riset. 

Saat menduduki bangku Sekolah Menengah Atas, saya mulai sadar bahwa sejatinya profesi sebagai seorang jurnalis adalah profesi yang disepelekan oleh sebagian besar orang. Ya! Persis seperti apa yang saya pikirkan beberapa tahun silam. Kala itu, saya sedikit berbual dengan memori masa lalu saya, hingga saya mulai bertanya tanya, mengapa saya justru lebih mendekatkan diri dengan jurnalistik?

Setelahnya, saya mulai belajar tentang sejarah. Disini saya sadar, bahwa saya telah larut dalam memori foto hitam-putih yang seringkali dijadikan bukti dari sebuah perjalanan sejarah. Semakin saya menyusuri lebih dalam, semakin saya menyadari, bahwa peran pers dalam mengadikan perjalanan waktu sangatlah krusial.

Bayangkan saja, surat kabar yang dahulu hanya berperan sebagai media informasi kepada masyarakat, kini telah menjadi arsip negara yang disimpan sebagai bukti nyata pernah terjadinya peristiwa besar dalam sejarah. Saya menyadari, bahwa reporter bukan hanya profesi yang menyampaikan kabar terkini, tapi juga 'pengabadi' perjalanan waktu yang kompeten. Jika reporter surat kabar belum dilahirkan pada masa itu, mungkin saja sekarang kita tidak tidak pernah tahu apa yang pernah terjadi pada masa lampau.

Kini, pandangan saya tentang jurnalistik tak lagi sama seperti yang dulu, bukan sekadar penyiar tontonan berita di televisi, hahaha. Jurnalis adalah seniman, dan berita adalah seninya. Seni yang abadi dan mengabadikan. Lebih dari sekadar estetika visual atau sajak yang berirama.


Post a Comment

Previous Post Next Post
iklan-728
iklan-728